Museum Blanco, Keindahan Seorang Seniman
Museum Antonio Blanco di Ubud, Bali.
KOMPAS.com - "A thing of beauty is a joy forever," tulis seniman John Keats dalam Endymion, puisi yang dibuatnya tahun 1818. Kalimat ini tertulis di tembok museum Antonio Blanco di atas bukit di tepi sungai Campuan, Ubud. Memasuki galerinya kita akan melihat bahwa Antonio Blanco, pelukis eksentrik berdarah Catalonia, Spanyol itu memang begitu terobsesi akan keindahan, terutama keindahan tubuh perempuan. Sebagian besar karya lukisnya menampilkan tubuh perempuan bertelanjang dada dengan cara yang, menurut saya, liar sekaligus romantis. Sebagian besar adalah istri sang maestro sendiri, seorang penari Bali yang santun, Ni Ronji.
Di masa awal kejayaan pariwisata Bali, perempuan Bali juga merupakan daya tarik yang begitu kuat bagi datangnya wisatawan. Dalam ‘Bali-a- Breast’, sebuah artikel yang saya baca di museum ini, pada masanya dada perempuan Bali adalah keindahan dalam arti sesungguhnya. Keindahan yang terbentuk dari kebiasaan bekerja keras dan berjalan jauh dengan tangan terangkat memegang panggulan di atas kepala. Konon ini adalah bentuk olah raga yang sempurna untuk menciptakan payudara yang indah. Keindahan jasmani dalam karakter pribadi yang kuat memberikan pesona yang luar biasa pada mereka.
Seorang dokter asal Jerman yang pertama kali memperhatikan ini kemudian menampilkan ulasan serta foto-foto perempuan Bali dalam sebuah penerbitan di Eropa. Keindahan ini, bersama dengan alam dan budayanya yang menakjubkan melambungkan Bali menjadi surga bagi para wisatawan. Dahulu semua perempuan Bali memang tidak menutupi dadanya. Hanya pekerja seks yang menutupinya dengan tujuan memancing rasa ingin tahu dari calon konsumennya.
Lukisan-lukisan Antonio Blanco juga menunjukkan penghargaannya yang mendalam terhadap tubuh perempuan. Lukisan-lukisan yang sedemikian indahnya sehingga menarik perhatian orang dari berbagai kalangan mulai dari Soekarno, Mick Jagger, sampai Michael Jackson. Raja Spanyol bahkan begitu terkesan dan memberikan Antonio Blanco gelar ‘Don’.
Antonio Blanco adalah seorang petualang yang begitu bebas. Telah dijelajahinya berbagai belahan dunia sampai ia membaca tentang pulau Bali di buku ‘The Island of Bali’ karya Covvarobias. Tahun 1952 akhirnya ia sampai di Ubud dan jatuh cinta pada sungai, sawah, dan keteduhan budayanya. Seperti semua pejalan kaki, ia pun berbicara banyak dengan penduduknya.
Ia bersahabat dengan Raja Puri Saren Ubud yang kemudian memberinya sebidang tanah untuknya tinggal di dekat sungai Campuan. Di sanalah ia membangun pondok, melukis, menulis puisi, dan memberi warta pada dunia tentang indahnya Ubud. Di sana ia memeluk agama Hindu dan jatuh cinta pada Ni Ronji, seorang penari Bali yang membuatnya semakin mantap untuk menghabiskan sisa hidupnya di pulau nan cantik ini.
Bersama Ni Ronji ia memiliki empat orang anak, Tjempaka, Mario, Orchid, dan Mahadevi. Ia menetap di Ubud sampai akhir hayatnya di tahun 1999 yang dilakukan dengan upacara ngaben yang khidmat. Darah seni lukis sang Ayah terwariskan pada putranya, Mario Blanco. Putra yang telah dikelilingi oleh kesenian sejak masa kanak-kanak ini telah mulai melukis sejak umur lima tahun.
Berbeda dengan sang Ayah yang kebanyakan melukis perempuan, maka Mario tertarik untuk melukis obyek benda. Perlahan sang anak yang berbakat ini akan berhasil keluar dari bayang-bayang sang ayah dan meraih gelar kemaestroannya sendiri.
Sore itu Ubud sedang agak mendung saat saya mengunjungi The Blanco Renaissance Museum. Pelataran museumnya sangat rindang dan sambil berjalan kita akan mendengar lagu-lagu opera klasik sebagai latar. Di pintu museum terdapat sebuah gerbang besar yang sangat unik. Rupanya gerbang ini adalah replika tanda tangan dari Antonio Blanco.
Dalam cahaya lampu yang temaram kita akan menikmati barisan lukisan dengan pigura-pigura yang unik hasil desain sang maestro sendiri. Suasana seni sangat kuat terasa di setiap area museum dengan nuansa perpaduan Victorian dan Bali. Dari galerinya kita bisa lanjut mengunjungi studio tempat seniman flamboyan ini bekerja. Disini banyak lukisan-lukisan yang belum dipigura. Dindingnya juga penuh lukisan dan coretan coretan puisi beliau maupun ucapan penyemangat dari sahabat-sahabatnya.
Di sana saya sempat membaca sedikit buku biografi sang seniman. Terdapat sebuah foto yang menampilkan Antonio Blanco muda sedang belajar menari kebyar. Saya sangat menyukai foto itu, foto yang menampilkan seorang pemuda yang sangat ekspresif dengan keliaran seorang seniman yang begitu terbebaskan. Masih banyak yang bisa dilihat di area museum; perpustakaan, galeri Mario Blanco, amphitheatre, dan sebuah teras dimana terdapat foto-foto keluarga Blanco. Di teras itu mbok Ketut, penjaga museum, menghidangkan minuman dan sambil memandangi taman bercerita-cerita tentang kehidupan keluarga Blanco. Sungguh senja yang sejuk.
Museum Antonio Blanco memberikan saya nuansa yang berbeda dari museum seni lukis lain. Selain saya sangat menyukai lukisan beliau, terdapat nuansa kreatifitas, petualangan, kebebasan, dan kecintaan pada keluarga serta pada keindahan yang sangat kental. Saya selalu mengagumi mereka yang kreatif dan terbebaskan. Dan sore itu, saat Ubud agak gerimis, saya menaruh hormat yang dalam kepada sang maestro. (Get Lost in Indonesia/I Gusti Ngurah Wijaya Kusuma)
Di masa awal kejayaan pariwisata Bali, perempuan Bali juga merupakan daya tarik yang begitu kuat bagi datangnya wisatawan. Dalam ‘Bali-a- Breast’, sebuah artikel yang saya baca di museum ini, pada masanya dada perempuan Bali adalah keindahan dalam arti sesungguhnya. Keindahan yang terbentuk dari kebiasaan bekerja keras dan berjalan jauh dengan tangan terangkat memegang panggulan di atas kepala. Konon ini adalah bentuk olah raga yang sempurna untuk menciptakan payudara yang indah. Keindahan jasmani dalam karakter pribadi yang kuat memberikan pesona yang luar biasa pada mereka.
Seorang dokter asal Jerman yang pertama kali memperhatikan ini kemudian menampilkan ulasan serta foto-foto perempuan Bali dalam sebuah penerbitan di Eropa. Keindahan ini, bersama dengan alam dan budayanya yang menakjubkan melambungkan Bali menjadi surga bagi para wisatawan. Dahulu semua perempuan Bali memang tidak menutupi dadanya. Hanya pekerja seks yang menutupinya dengan tujuan memancing rasa ingin tahu dari calon konsumennya.
Lukisan-lukisan Antonio Blanco juga menunjukkan penghargaannya yang mendalam terhadap tubuh perempuan. Lukisan-lukisan yang sedemikian indahnya sehingga menarik perhatian orang dari berbagai kalangan mulai dari Soekarno, Mick Jagger, sampai Michael Jackson. Raja Spanyol bahkan begitu terkesan dan memberikan Antonio Blanco gelar ‘Don’.
Antonio Blanco adalah seorang petualang yang begitu bebas. Telah dijelajahinya berbagai belahan dunia sampai ia membaca tentang pulau Bali di buku ‘The Island of Bali’ karya Covvarobias. Tahun 1952 akhirnya ia sampai di Ubud dan jatuh cinta pada sungai, sawah, dan keteduhan budayanya. Seperti semua pejalan kaki, ia pun berbicara banyak dengan penduduknya.
Ia bersahabat dengan Raja Puri Saren Ubud yang kemudian memberinya sebidang tanah untuknya tinggal di dekat sungai Campuan. Di sanalah ia membangun pondok, melukis, menulis puisi, dan memberi warta pada dunia tentang indahnya Ubud. Di sana ia memeluk agama Hindu dan jatuh cinta pada Ni Ronji, seorang penari Bali yang membuatnya semakin mantap untuk menghabiskan sisa hidupnya di pulau nan cantik ini.
Bersama Ni Ronji ia memiliki empat orang anak, Tjempaka, Mario, Orchid, dan Mahadevi. Ia menetap di Ubud sampai akhir hayatnya di tahun 1999 yang dilakukan dengan upacara ngaben yang khidmat. Darah seni lukis sang Ayah terwariskan pada putranya, Mario Blanco. Putra yang telah dikelilingi oleh kesenian sejak masa kanak-kanak ini telah mulai melukis sejak umur lima tahun.
Berbeda dengan sang Ayah yang kebanyakan melukis perempuan, maka Mario tertarik untuk melukis obyek benda. Perlahan sang anak yang berbakat ini akan berhasil keluar dari bayang-bayang sang ayah dan meraih gelar kemaestroannya sendiri.
Sore itu Ubud sedang agak mendung saat saya mengunjungi The Blanco Renaissance Museum. Pelataran museumnya sangat rindang dan sambil berjalan kita akan mendengar lagu-lagu opera klasik sebagai latar. Di pintu museum terdapat sebuah gerbang besar yang sangat unik. Rupanya gerbang ini adalah replika tanda tangan dari Antonio Blanco.
Dalam cahaya lampu yang temaram kita akan menikmati barisan lukisan dengan pigura-pigura yang unik hasil desain sang maestro sendiri. Suasana seni sangat kuat terasa di setiap area museum dengan nuansa perpaduan Victorian dan Bali. Dari galerinya kita bisa lanjut mengunjungi studio tempat seniman flamboyan ini bekerja. Disini banyak lukisan-lukisan yang belum dipigura. Dindingnya juga penuh lukisan dan coretan coretan puisi beliau maupun ucapan penyemangat dari sahabat-sahabatnya.
Di sana saya sempat membaca sedikit buku biografi sang seniman. Terdapat sebuah foto yang menampilkan Antonio Blanco muda sedang belajar menari kebyar. Saya sangat menyukai foto itu, foto yang menampilkan seorang pemuda yang sangat ekspresif dengan keliaran seorang seniman yang begitu terbebaskan. Masih banyak yang bisa dilihat di area museum; perpustakaan, galeri Mario Blanco, amphitheatre, dan sebuah teras dimana terdapat foto-foto keluarga Blanco. Di teras itu mbok Ketut, penjaga museum, menghidangkan minuman dan sambil memandangi taman bercerita-cerita tentang kehidupan keluarga Blanco. Sungguh senja yang sejuk.
Museum Antonio Blanco memberikan saya nuansa yang berbeda dari museum seni lukis lain. Selain saya sangat menyukai lukisan beliau, terdapat nuansa kreatifitas, petualangan, kebebasan, dan kecintaan pada keluarga serta pada keindahan yang sangat kental. Saya selalu mengagumi mereka yang kreatif dan terbebaskan. Dan sore itu, saat Ubud agak gerimis, saya menaruh hormat yang dalam kepada sang maestro. (Get Lost in Indonesia/I Gusti Ngurah Wijaya Kusuma)